Pendahuluan
Justice collaborator merupakan istilah yang semakin sering kita dengar, terutama dalam kasus-kasus besar yang melibatkan tindak pidana terorganisir. Istilah ini merujuk pada pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan yang lebih besar. Salah satu kasus yang menonjol adalah kasus Bharada E yang menjadi justice collaborator dalam perkara pembunuhan berencana yang melibatkan pejabat tinggi Polri.
Dalam kasus ini, Bharada E diberikan hukuman lebih ringan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena statusnya sebagai justice collaborator. Artikel ini akan membahas pertimbangan hukum yang digunakan hakim, peran justice collaborator, serta implikasi kasus Bharada E terhadap sistem peradilan pidana di Indonesia.
Latar Belakang Kasus Bharada E
Kronologi Kasus
Kasus Bharada E berawal dari pembunuhan berencana terhadap Brigadir J yang melibatkan beberapa aktor penting, termasuk pejabat tinggi Polri. Dalam proses pengungkapan, Bharada E memberikan kesaksian yang membuka tabir kejahatan ini. Kesaksian Bharada E menjadi kunci dalam mengungkap peran atasan langsungnya, yaitu Irjen FS, sebagai aktor intelektual di balik pembunuhan tersebut.
Peran Bharada E dalam Kasus
Sebagai bawahan dengan pangkat terendah, Bharada E melaksanakan perintah tanpa mempertanyakan akibatnya. Namun, dalam proses persidangan, ia menunjukkan keberanian dengan mengungkap fakta sebenarnya. Berdasarkan keterangan dari saksi-saksi, termasuk saksi ahli, Bharada E dianggap bukan pelaku utama melainkan hanya menjalankan perintah atasannya. Hal ini menjadi dasar penting dalam menetapkannya sebagai justice collaborator.
Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan
Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 798/Pid.B/2022/PN.Jkt.Sel menyatakan bahwa Bharada E terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta dalam pembunuhan berencana. Namun, statusnya sebagai justice collaborator memberikan pengaruh besar terhadap putusan akhir.
Landasan Hukum
Hakim menggunakan beberapa dasar hukum dalam menetapkan putusan, antara lain:
- Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
- Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana.
- Pasal 10A UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu, hakim juga merujuk pada Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menegaskan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Hal yang Memberatkan dan Meringankan
Hakim mempertimbangkan beberapa hal yang meringankan Bharada E, yaitu:
- Bersikap sopan selama persidangan.
- Belum pernah dihukum sebelumnya.
- Berusia muda, sehingga masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.
Sedangkan hal yang memberatkan adalah keterlibatannya dalam tindak pidana pembunuhan berencana, meskipun sebagai pelaku yang hanya menjalankan perintah.
Perbedaan dengan Tuntutan Jaksa
Jaksa Penuntut Umum menuntut hukuman 12 tahun penjara, tetapi hakim menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan. Perbedaan signifikan ini disebabkan oleh penetapan Bharada E sebagai justice collaborator, yang diabaikan oleh jaksa dalam tuntutannya.
Konsep Justice Collaborator dalam Sistem Hukum Indonesia
Pengertian Justice Collaborator
Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana yang bukan pelaku utama, tetapi bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan yang lebih besar. Peran ini diatur dalam Pasal 10A UU Nomor 31 Tahun 2014, yang memberikan hak-hak khusus bagi justice collaborator, seperti perlindungan hukum dan pengurangan hukuman.
Syarat Menjadi Justice Collaborator
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011, syarat utama untuk menjadi justice collaborator adalah:
- Pelaku bukan aktor utama dalam tindak pidana.
- Bersedia memberikan keterangan yang jujur dan konsisten.
- Kasus yang diungkap merupakan tindak pidana terorganisir yang menimbulkan gangguan serius pada masyarakat, seperti korupsi, terorisme, atau perdagangan manusia.
Relevansi dengan Kasus Bharada E
Dalam kasus Bharada E, meskipun tindak pidana yang dilakukan bukan kejahatan terorganisir seperti korupsi, kasus ini memiliki dampak serius terhadap kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Bharada E juga dinilai memenuhi kriteria sebagai pelaku yang bukan aktor utama dan bersedia bekerja sama dengan penuh keberanian.
Dampak Kasus Bharada E terhadap Sistem Peradilan Pidana
Penegakan Hukum yang Lebih Transparan
Kasus Bharada E menunjukkan pentingnya peran justice collaborator dalam mengungkap kejahatan yang melibatkan jaringan kuat atau pihak-pihak berkuasa. Kesaksian Bharada E membuka rekayasa kasus yang sebelumnya sulit terungkap.
Peningkatan Peran LPSK
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berperan penting dalam memberikan perlindungan kepada Bharada E. Kasus ini menyoroti perlunya sosialisasi lebih luas mengenai perlindungan yang dapat diberikan LPSK agar masyarakat lebih berani menjadi justice collaborator.
Pengaruh terhadap Kepercayaan Publik
Meskipun kasus ini menimbulkan guncangan terhadap citra Polri, putusan yang adil terhadap Bharada E memberikan harapan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia dapat berjalan dengan transparan dan berorientasi pada keadilan.
Penutup
Kasus Bharada E memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya peran justice collaborator dalam sistem peradilan pidana. Status justice collaborator tidak hanya membantu mengungkap kejahatan besar tetapi juga menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia memiliki mekanisme untuk menghargai keberanian dan kerja sama pelaku tindak pidana yang bersedia membantu penegakan keadilan.
Namun, perlu langkah lebih lanjut untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlindungan hukum yang tersedia bagi justice collaborator. Dengan demikian, semakin banyak kasus yang dapat diungkap dan sistem peradilan pidana Indonesia dapat semakin dipercaya oleh masyarakat.